Translate

Senin, 24 Maret 2014

Bena, desa tradisional di kaki Gunung Inerie



Dari kejauhan desa ini sudah terlihat karena letaknya di lereng bukit dan rumah-rumahnya tersusun berjejer ke atas mengikuti kontur lereng. Terkesan tenang dan teduh karena dikelilingi oleh pepohonan besar dan batang-batang bambu yang tumbuh di hutan-hutan di sekitarnya. Begitu turun dari kendaraan, udara sejuk akan menyapu kulit. Inilah Desa Bena,  salah satu dari banyak desa adat di kabupaten Ngada. 

Setiap unsur di desa ini menarik untuk diamati. Rumah-rumah tradisionalnya dibangun dari kayu dengan ukiran-ukiran yang khas. Atapnya terbuat dari ilalang kering dengan hiasan-hiasan di atasnya yang menandakan garis keturunan penghuninya. Tulang-tulang rahang binatang korban persembahan tergantung pada tiang-tiang rumah untuk menunjukkan status sosial penghuninya. 





 
Di bagian tengah desa terdapat beberapa altar penyembahan terhadap leluhur yang terdiri atas 2 bangunan kecil dari kayu dengan atap ilalang yang melambangkan nenek moyang perempuan dan laki-laki. Di antara kedua bangunan terdapat formasi batu-batuan yang menjadi tempat mempersembahkan  binatang bagi leluhur.
 


Bagian paling ujung desa merupakan tempat yang paling tinggi. Tempat dengan sudut pandang 360 derajat ini menyajikan pemandangan yang sangat indah. Di arah utara terlihat bangunan-bangunan di seluruh desa dengan hutan dan perkebunan di sekitarnya. Di sebelah barat terlihat puncak Gunung Inerie dengan lembah yang dipenuhi hutan. Di kejauhan terlihat air Laut Sawu yang menyatu dengan langit di sebelah selatan. Di puncak desa ini terdapat gua Maria. Tempat tepat untuk menyepi, merenungkan dan mensyukuri keagungan Sang Pencipta.




Keunikan masyarakat Bena adalah sikap biasa-biasa saja dan tak merasa terganggu saat wisatawan datang. Mereka tetap melakukan aktivitas sehari-hari yaitu memintal benang dan menenun oleh para perempuan dan berkebun oleh para laki-laki.

Meskipun Bena menjadi salah satu tujuan wisatawan asing yang datang ke Flores dan teknologi dan modernitas sudah menjangkau desa ini, masyarakatnya masih menjalankan tradisi dan nilai-nilai yang diturunkan oleh leluhurnya.Salah satunya adalah upacara Reba yang dilakukan setiap akhir tahun. Upacara Reba merupakan upacara pergantian tahun yang dirayakan selama beberapa hari. Upacara dilakukan dengan melakukan beberapa prosesi yang melibatkan tetua adat dan seluruh masyarakat, di antaranya penuturan nilai-nilai hidup yang disampaikan melalui nyanyian dan tarian.



Tertarik nyasar di balik hutan-hutan bambu di lereng Gunung Inerie dan melihat keunikan bentuk desa Bena serta melihat aktivitas keseharian masyarakatnya tanpa membuat mereka terusik? Atau melihat dan mengikuti prosesi-prosesi yang dilakukan dalam Upacara Reba? Yuk...nyasar di Flores bersama kami.


Lingko, kearifan lokal dalam membagi hak olah tanah




Ini bukan sawah biasa. Tidak ada garis-garis sejajar yang dibentuk oleh pematang-pematang sawahnya. Pematang-pematang sawah juga bukan tidak membentuk  garis-garis tidak beraturan. Perhatikan foto di sebelah kanan ini. Garis-garis pematang dari arah kanan menuju satu titik imajiner di sebelah kiri. Ini adalah sawah di daerah Manggarai, Flores.
Ada 3 tempat tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Manggarai, yaitu  rumah, kampung dan tanah pertanian atau perkebunan. Pada ketiga tempat ini pola lingkaran terlihat jelas. Rumah tradisional berbentuk kerucut dengan dasar berbentuk lingkaran.Bila dilihat dari bawah, kerangka kayu yang menyusun atap rumah terlihat seperti sarang laba-laba juga.
Kampung tradisional juga membentuk pola lingkaran. Di bagian tengah kampung terdapat  compang, yaitu altar batu tempat persembahan kepada Tuhan dan leluhur. Semua rumah menghadap ke arah compang. Foto di sebelah kanan adalah salah satu kampung tradisional Manggarai yaitu Waerebo. Terlihat ada 7 buah rumah berbentuk kerucut yang mengelilingi compang yang juga berbentuk lingkaran.
Yang terakhir adalah  tanah pertanian dan perkebunan. Di samping ini adalah foto bentuk sawah yang dengan area pandang yang lebih luas dibandingkan foto di atas.  Bentuknya berupa lingkaran-lingkaran konsentris dengan dengan satu titik pusat dan garis-garis lurus dari titik pusat ke luar membentuk jari-jari lingkaran. Seperti sarang laba-laba. 
Foto ini diambil di Desa Cancar, tidak jauh dari Kota Ruteng. Ada satu tempat di desa ini  yang letaknya di ketinggian sehingga petak-petak sawah berbentuk sarang laba-laba terlihat jelas. Dalam bahasa Manggarai petak-petak sawah sarang laba-laba ini disebut lingko. Paling sedikit ada 11 lingko terlihat dari tempat ini.


Lingko merupakan tanah adat  untuk memenuhi kebutuhan bersama. Bentuk lingko yang unik ini merupakan wujud pembagian hak olah tanah secara adat. Pembagian dimulai dari pusat lingkaran yang disebut lodok. Di lodok ini tetua adat membagi tanah dengan menggunakan jarinya sebagai alat ukur. Hasil ukur ditandai pada  batang kayu yang berdiri di tengah lodok. Kemudian ditarik garis lurus dari tanda-tanda di batang kayu  ke arah luar hingga batas terjauh tanah adat. Itulah pembagian hak olah tanah yang akhirnya menghasilkan bentuk sarang laba-laba.

Bentuk sarang laba-laba ini tidak hanya terjadi pada tanah persawahan, tetapi juga pada tanah perkebunan. Pada perkebunan, garis-garis pembagian tidak terlihat jelas seperti pada sawah karena tertutup oleh rimbunnya tanaman kebun yang relatif lebih tinggi dibandingkan padi. Namun bentuk ini masih bisa dilihat melalui citra satelit. Gambar di sebelah ini merupakan gambar yang didapat melalui Google Earth. Pada gambar ini terlihat sekurangnya 5 lingko dengan pusat yang ditunjuk oleh tanda panah merah.

Manggarai memang memiliki tanah subur. Produksi beras di lingko-lingko di seluruh Flores selalu surplus tiap tahunnya. Perkebunan coklat, cengkeh, kopi, kapuk dan kemiri tersebar di seluruh Manggarai.

Tertarik nyasar di perkampungan petani Manggarai, melihat keunikan bentuk pembagian hak olah tanahnya dan berbincang-bincang dengan mereka sambil menikmati kopi luwak dan coklatnya? Atau nyasar di pematang-pematang lingko dan melihat upacara awal masa tanam di lodok? Yuk...nyasar di Flores bersama kami.